Penghapusan PSO KAI ekonomi jarak jauh dan sedang hanya akal
akalan. Pengguna sarana transportasi
kereta api jarak jauh yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Pengguna Kereta
Api (PMPKA) memprotes keputusan PT KAI (Persero) yang menghapusan PSO pada KA Ekonomi
Jarak Jauh dan Sedang di tahun 2015 dan dialihkan ke commuter.
Menurut mereka rencana
penghapusan PSO pada KA Ekonomi Jarak Jauh melanggar Undang-Undang No.23 Tahun
2007 tentang Perkeretaapian pasal 153 ayat 1 dan turunannya yaitu Peraturan
Pemerintah No.72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api pada
pasal 149 ayat 2.
Adapun isinya berbunyi pelayanan
kelas ekonomi, dalam hal tarif angkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah lebih
rendah daripada tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
berdasarkan pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah, selisihnya
menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam bentuk kewajiban pelayanan publik.
Penghapusan Subsidi dari
Pemerintah kepada Kereta Ekonomi oleh PT. KAI (Persero) sebagai akibat tidak
terserapnya seluruh PSO yang diberikan oleh Pemerintah kepada PT. KAI
(Persero).
Ini membuat menjadikan masyarakat menjadi korban akibat
ketidakmampuan PT. KAI (Persero) dalam hal menyarap PSO tersebut, menurut
Stefanus Dwi dari Paguyuban Masyarakat Pengguna &Pelanggan KA Ekonomi.
Dikatakannya, alasan pemerintah mengalihkan PSO (Public Service Obligation) ke
KRL dikarenakan jumlah penumpang KA Jarak Jauh terus menurun, sementara
penumpang KRL terus melonjak. Lebih lanjut,
alasan ini terasa dibuat-buat karena di sisi lain KAI mengakui
pertumbuhan minat penumpang Kereta Api terus meningkat setiap tahunnya. Alasan
klise berikutnya,karena KRL dan CL dipakai setiap hari oleh masyarakat,
sementara KA jarak jauh tidak setiap hari
Pemerintah, kata dia seharusnya tidak memusatkan program
pengendalian peralihan masyarakat dari angkutan pribadi ke angkutan
massal,untuk masyarakat ibukotasaja.Tetapi seharus merata keseluruh daerah.
Kalaupun prioritas program tetap
di ibukota, pemerintah tidak melihat dampak yang akan terjadi akibat
penghapusan subsidi Kereta Api. Sebagai angkutan massal, KA Ekonomi menjadi
pilihan masyarakat pekerja kelas menengah kebawah untuk mobilitas dari ibukota
ke daerah asal.
Masyarakat pekerja di ibu kota
jumlahnya lebih dari 20 ribu yang berasal dari daerah dan memanfaatkan KA
ekonomi untuk mobilitas dari ibu kota ke daerah asal minimal 3 hari sekali, dan
kebanyakan seminggu sekali.
Disebutkan kalau subsidi dihapus,
tiket KA tidak terbeli karena harganya melambung, maka akan terjadi urbanisasi
masif ke ibukota, karena pekerja yang tidak mampu membeli tiket akan membawa
keluarganya keibukota demi efisiensi. Dan ibukota akan semakin penuh sesak
karena jumlah penduduk urban bertambah secara signifikan.
Sebagai contoh tarif tiket PSO KA
Kelas Ekonomi dari sebelumnya Rp. 50.000 (KA Progo) menjadi tarif Non PSO
sebesar Rp. 100.000 - Rp. 140.000 mulai per 1 Januari 2015 yang mengacu kepada
TBB ( Tarif Batas Bawah ) dan TBA (Tarif batas Atas) sangatlah aneh.
Berdasarkan pengamatannya, dari
848 kursi yang dijual, komposisi TBB dan TBA adalah sebanyak 93 persen tarif yang dijual adalah TBA alias Tarif
tertinggi yakni di harga Rp. 140.000 sedangkan sisanya sebanyak 7 persen adalah
Tarif Batas Menengah di harga Rp. 125.000. Sedangkan TBB di harga Rp. 100.000
hanya tampilan kosong.
Stefanus melanjutkan, Komposisi tersebut ditemukan tidak saja pada
KA Progo tetapi hampir semua kereta Ekonomi. PT. KAI (Persero) telah
mengelabuhi masyarakat dan pihak regulator dalam hal ini Kemenhub qq Ditjen
Perkeretaapian. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan
RI No. 43 Tahun 2014 Tentang Tarif Angkutan Orang dengan Kereta Kelas Ekonomi
dimana telah disebutkan tarif untuk masing-masing angkutan KA kelas ekonomi
pada lampiran peraturan tersebut.
Atas dasar hal tersebut,
Paguyuban Masyarakat Pengguna Kereta Api (PMPKA) memohon Direktorat Jenderal Perkeretapian Kementerian
Perhubungan RI membatalkan rencana penghapusan subsidi berupa publik service
obligation.
Juga membantu kami agar PT. KAI (Persero) bisa
membatalkan atau menunda kebijakan pemberlakuan tarif tiket ekonomi 2015 karena
dinilai sudah tidak rasional dan sudah jelas-jelas melanggar Undang-Undang
No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.