Ini
dia penyebab kenaikan harga tiket KAI 2015. Nilai
tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berdampak terhadap sektor
transportasi yang masih mengandalkan produk impor untuk suku cadang.
Nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus mengalami pelemahan hingga menembus
level Rp 12 ribu. Kondisi ini semakin membebani biaya operasional perusahaan, termasuk
PT Kereta Api Indonesia (KAI) Persero.
Melihat
kondisi itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah melakukan pembahasan mengenai
kebijakan penyesuaian formula tarif kereta api (KA).
Direktur
Komersial KAI, Bambang Eko Martono menyebut ada tiga hal pendorong kenaikan tarif
kereta api. Pertama, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS. Kedua, kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) dan ketiga, inflasi.
Menurut
Bambang Eko Martono Itulah ketiga pemicu yang memaksa kami adjust tarif kereta api.
Pasti (naik) kalau harga BBM jadi naik, kurs rupiah melemah dan inflasi melonjak
Lebih jauh katanya, dalam kenaikan tarif tetap mengacu pada batas atas yang ditentukan
Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Bambang
menjelaskan, pihaknya sangat terpukul dengan anjloknya kurs rupiah. Pasalnya, Badan
Usaha Milik Negara ini masih mengandalkan impor suku cadang kereta api sehingga
pembeliannya menggunakan dolar AS.
Dampaknya
terasa sekali, karena banyak suku cadang kita yang asalnya impor. Kontrak pengangkutan
barang kita juga pakai dolar AS.
Menurutnya
menyesuaikan formula tarif yang merupakan agenda rutin setiap dua tahunan dengan
melihat kondisi pasar dan faktor-faktor lainnya seperti kurs rupiah terhadap dolar
AS.
Dengan
ada penyesuaian formula tarif akan memberikan kelonggaran bagi PT Kereta Api Indonesia
(Persero) dalam meningkatkan pelayanannya tanpa terkendala faktor pelemahan kurs. Meski
begitu, dengan adanya penyusunan formula tarif kereta ini belum tentu jika nantinya
rampung, harga tiket seluruh kelas kereta akan mengalami kenaikan.
Dia
menilai, KAI berupaya mengantisipasi penguatan dolar AS dengan mengejar pendapatan
dan laba bersih tahun ini, tanpa perlu mengurangi utang dalam dolar AS.
Tahun
ini target pendapatan kita Rp 11 triliun, dan sampai saat ini sudah berkisar Rp
7,5 triliun-Rp 8 triliun. Laba bersih diproyeksikan Rp 800 miliar atau naik dibanding
tahun lalu Rp 560 miliar.